Segmentasi Pasar Dan Pemetaan Posisi Produk Simcard GSM DENGAN TEKNIK MULTIDIMENSIONAL SCALLING (EKN-153)

Seiring dengan kemajuan teknologi dan informasi serta pertumbuhan dan penyebaran penduduk yang sangat pesat menyebabkan kebutuhan masyarakat akan kelancaran dan penyampaian informasi semakin meningkat. Banyak alat komunikasi yang bermunculan untuk memenuhi kebutuhan akan informasi. Salah satunya adalah telepon seluler (ponsel) yang saat ini mendominasi industri telekomunikasi nasional.


Di Indonesia, Asosiasi Telepon Seluler Indonesia (ATSI) mencatat bahwa hingga akhir 2004, pelanggan layanan ponsel mencapai 32 juta. Diproyeksikan pada 2005, pengguna ponsel akan meningkat 1,25 juta lebih pelanggan per bulan. Bahkan bisa terlampaui jika melihat jumlah pelanggan seluler yang hingga akhir Juni sudah mencapai 40 juta. Jadi, bisa dikatakan dalam satu dasawarsa atau dalam sepuluh tahun ini bisnis jasa telekomunikasi seluler berkembang sangat pesat walaupun negeri ini sempat mengalami krisis ekonomi yang berkelanjutan serta pertumbuhan ekonomi yang belum sesuai dengan yang diharapkan, tetapi bisnis di industri ini terus berkembang hingga sekarang.
Heru Sutadi (2005) mengemukakan sedikitnya ada tiga alasan terus meningkatnya pengguna telepon seluler. Pertama, perubahan gaya hidup masyarakat yang going mobile, ingin dapat dihubungi dan menghubungi di manapun berada, menyebabkan adanya kebutuhan memiliki telepon seluler. Kedua, dengan melihat daya beli seperti itu, maka sesungguhnya angka teledensitas yang berkisar pada angka 22%, maka jika dibandingkan dengan beberapa negara Asean, seperti Singapura, Malaysia maupun Filipina, angka teledensitas tersebut masih dapat ditingkatkan lagi. Karenanya tak mengherankan, jika investor dari Singapura dan Malaysia begitu berminat untuk ekspansi di sini mengingat pasar mereka yang nampaknya jenuh, sementara di tanah air masih bisa ditingkatkan lebih banyak pengguna. Ketiga, mungkin juga menjadi contoh bagi sektor telepon tetap, yaitu adanya iklim kompetisi antar operator.

Bisnis telekomunikasi nasional telah mencapai sukses yang sangat fenomenal baik bagi pabrik-pabrik pembuatnya maupun para operatornya. Berawal dari dua perusahaan jasa telekomunikasi pemerintah yakni PT Telkom dan PT Indosat pada pertengahan 1995 yang mulai mengembangkan saluran distribusi dengan open market atau disebut dengan penjualan melalui saluran distribusi para pedagang seluler. Pada awalnya perusahaan ini hanya mengeluarkan kartu SIM (simcard) GSM sebagai sarana telekomunikasi. Tahun 1997 datang pendatang baru di GSM khususnya yakni perusahaan swasta PT Exelcomindo atau lebih dikenal dengan XL. Dengan adanya tiga pemain seluler di GSM dan dengan meningkatnya aktivitas promosi yang dilakukan oleh para operator yang gencar di stasiun-stasiun televisi menyebabkan semakin bergairahnya bisnis di industri telekomunikasi Indonesia.

Persaingan telah membuat operator silau untuk berbuat apapun guna mengejar pasar. Aksi yang paling sering didapati adalah dengan banting harga, bonus bicara gratis, hingga membebaskan pelanggan dari biaya roaming. Aksi ini mendorong pengguna simcard untuk menggunakan banyak kartu dan mengganti-ganti kartu SIM. Menurut pengamat telematika Roy Suryo, pasar ponsel Indonesia seperti orang memencet remote control televisi. �Kalau ditanya mana yang terbaik, tergantung acaranya. Itu sekarang yang hampir terjadi. Orang menganggap ganti nomor bukanlah masalah penting.� Harus diakui, saat ini kartu perdana nyaris dijual gratis.

Senada dengan pendapat Roy, hasil riset Ericsson (2004) terhadap 1500 pelanggan telekomunikasi bergerak di Indonesia. Hasil riset Ericson menemukan bahwa ternyata pelanggan Indonesia paling suka berganti layanan di banding negara tetangganya di Asia Tenggara. Dari 1500 pelanggan yang disurvey, 390 orang atau sebesar 26% menjawab ganti operator dalam satu tahun ini dan 255 orang atau 17% mengaku akan berpindah operator dalam satu tahun ke depan. Ini tentunya menjadi catatan penting bagi operator seluler di Indonesia.

Tentunya kompetisi yang terkesan sangat ketat antar operator di satu sisi merupakan berkah bagi para pelanggan namun disisi lainnya menjadi bumerang dengan aksi ganti-ganti kartu yang dilakukan pelanggan. Oleh karena itu, operator harus bisa mengetahui apa yang sangat diinginkan pelanggan dalam memilih merek dan tipe simcard agar bisa terus eksis di dunia ini.
READ MORE

Aspek Seni Arsitektural Kemahasiswaan dan Logo Terhadap Reputasi yang Terbentuk Di Kalangan Mahasiswa Universitas Negeri Malang (EKN-152)

Perkembangan global memicu intensitas kompetisi untuk menjadi yang terbaik semakin tinggi, tidak terkecuali dalam dunia pendidikan. Setiap tahun, saat lulusan SMA dan SMK bersaing untuk mendapatkan institusi pilihan, perguruan tinggi pun berlomba-lomba mempromosikan diri dan menjaring calon-calon mahasiswa potensial. Potensial bisa berarti mampu secara akademis atau finansial.


Perguruan tinggi dari luar negeri pun tidak mau kalah, dan gencar berpromosi. Begitu pula perguruan-perguruan tinggi swasta (PTS) melakukan berbagai upaya pemasaran dan menjadikan dunia pendidikan tinggi seperti bisnis dan industri. Kini beberapa perguruan tinggi negeri (PTN) tidak mau ketinggalan dengan membuka jalur khusus atau ekstensi.

Ketatnya persaingan tersebut memaksa berbagai universitas untuk melakukan promosi mereka lebih awal. Jika pada beberapa tahun sebelumnya kompetisi dimulai setelah calon mahasiswa atau lulusan SMA/SMK telah memperoleh status kelulusan mereka dengan menerima STTB, maka beberapa tahun terakhir ini, seleksi mahasiswa baru menjadi makin dini karena perguruan tinggi berlomba-lomba memajukan tanggal penerimaan mahasiswa baru untuk menjaring mahasiswa pilihan sebelum didahului perguruan tinggi pesaing.

Dalam semangat persaingan ini, ada perguruan tinggi yang menetapkan seleksi gelombang pertama pada awal tahun, tetapi sebetulnya diam-diam sudah memastikan untuk menerima mahasiswa pilihan sekitar bulan Oktober dan November ketika siswa SMA/SMK belum mengikuti ujian akhir semester gasal. Seleksi pra-gelombang pertama ini dibungkus dengan nama jalur prestasi, jalur khusus, jalur kerja sama, dan semacamnya.

Meskipun telah dikenal sebagai universitas terkemuka dengan berbagai keunggulan yang sudah diakui publik, Universitas Negeri Malang tetap perlu menjalankan komunikasi strategis untuk dapat digunakan untuk semakin mengukuhkan diri sebagai universitas terbaik dalam persepsi publik.

Strategi komunikasi adalah kegiatan atau kampanye komunikasi yang sifatnya informasional maupun persuasive untuk membangun pemahaman dan dukungan terhadap suatu ide, gagasan atau kasus, produk maupun jasa yang terencana yang dilakukan oleh suatu organisasi baik yang berorientasi laba maupun nirlaba, memiliki tujuan, rencana dan berbagai alternative berdasarkan riset dan memiliki evaluasi. (Smith, 2005:3).

Komunikasi strategis bukan hanya pada kegiatan public relations. Komunikasi pemasaran juga merupakan perwujudan dari konsep-konsep komunikasi (Smith, 2005: 3). Public relations dan pemasaran atau marketing merupakan bidang yang sering kali bertubrukan atau overlapping. Public relations merupakan fungsi manajemen yang memusatkan perhatian pada interaksi jangka panjang antara organisasi dengan publik yang berkaitan dengan organisasi untuk memperoleh goodwill, pengertian yang saling menguntungkan serta dukungan (Smith, 2005: 4).

Sedangkan komunikasi pemasaran adalah fungsi dalam manajemen yang memusatkan perhatian pada produk atau jasa untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan konsumen (Smith, 2005: 4). Namun, koordinasi dari dua kegiatan tersebut dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas suatu organisasi dan dikenal sebagai integrated marketing communication (IMC).

Kotler (2004) memberikan empat tahap proses dalam komunikasi pemasaran yakni analisas lingkungan, identifikasi khalayak dan tujuan, pengembangan pendekatan strategis dam mengembangkan rencana implementasi. Sedangkan Smith (2005) memberikan sembilan fase yang dikelompokkan menjadi empat fase dalam komunikasi strategis untuk public relations yakni formative research, strategy, tactic dan evaluation research.
Dalam kondisi persaingan yang dinamis, keunggulan berada pada organisasi yang berhasil membedakan diri secara positif dari pesaing. Demikian halnya dengan universitas. Pembedaan berdasarkan aset intangibel menjadi sebuah aspek yang penting dalam kompetisi untuk meraih loyalitas dan menjaga konsumen. Menanamkan keterikatan dengan pihak internal dan eksternal, menciptakan reputasi yang lebih luas, melakukan inovasi serta pengembangan menjadi sumber utama kekuatan dalam lingkungan kompetisi global. Reputasi menjadi elemen kunci dari aset organisasi dan sumber keunggulan kompetitif jangka panjang. Reputasi organisasi dalam persepsi publik yang luas memiliki dampak terhadap kemampuan kompetitif, pangsa pasar, dan keuntungan yang sangat berarti dalam menempatkan posisi dalam persaingan.

Reputasi perusahaan merupakan penilaian publik dari indentitas dan image kunci dari sebuah organisasi yang memberikan penguatan posisi jangka panjang yang menguntungkan. Reputasi mewakili kemampuan yang berbeda yang menjadi atribut dari organisasi akibat kegiatan yang dilakukan sebelumnya. Berlawanan dengan persepsi stakeholder tentang identitas, reputasi organisasi mewakili persepsi jangka panjang dari integritas total sebuah organisasi. Hal tersebut didasarkan pada pengalaman yang dirasakan publik terhadap organisasi dan sebagai hasil dari perilaku, simbol, dan komunikasi organisasi dengan lingkungan. Berbeda dengan image, reputasi tidak dapat diubah dalam jangka pendek dan didalamnya mencerminkan kredibilitas, keandalan, kepercayaan, dan tanggung jawab dari sebuah organisasi.

Dampak image dan reputasi organisasi dapat memiliki kecenderungan yang negatif maupun positif terhadap kesuksesan organisasi. Hal tersebut bergantung pada tingkat korespondensi dengan identitas yang bersangkutan. Image yang diciptakan dengan baik sulit untuk ditiru oleh kompetitor karena memiliki kekuatan yang dapat bertahan lama dalam posisi pasar. Nilai konsumen yang lebih tinggi dalam fase penilaian terhadap organisasi dengan posisi image yang tinggi dalam persepsinya akan mengarahkan pada performa, kepuasan, loyalitas, hubungan yang lebih baik dengan organisasi lain dan sebagainya. Interaksi mutual dari image dan identitas sangat penting untuk membangun reputasi yang menyatu dalam diri organisasi. Image organisasi merupakan gambaran mental yang multidimensional dalam lingkungan pasar, yaitu merupakan totalitas impresi dari publik kunci yang terbentuk tentang organisasi tertentu.
Universitas Negeri Malang merupakan salah satu universitas tertu di Kota Malang. Meski nama yang disandang relatif baru diresmikan, sebelumnya universitas ini dikenal dengan nama IKIP Negeri Malang. Ketika masih sebagai IKIP Negeri Malang layanan pendidikan yang disediakan masih terbatas dalam bidang keguruan dan ilmu pendidikan. Seiring dengan perkembangan kebutuhan dan kebijakan pendidikan yang dikeluarkan oleh pemerintah, IKIP Negeri Malang berganti nama menjadi Universitas Negeri Malang dan memperluas layanan pendidikan dengan menambahkan beberapa fakultas umum.

Satu diantara fakultas umum tersebut adalah Fakultas Ekonomi. Hal ini menjadi dasar pentingnya mengukur image Universitas Negeri Malang dikalangan mahasiswa Fakultas Ekonomi mengingat fakultas ini diadakan pada saat perluasan layanan pendidikan ketika IKIP Negeri Malang berganti nama secara resmi menjadi Universitas Negeri Malang. Jika dikaitkan dengan image, maka dapat dikatakan bahwa mahasiswa Fakultas Ekonomi lebih mengenal image Universitas Negeri Malang dibandingkan dengan IKIP Negeri Malang. Namun demikian sebagian orang juga masih lebih akrab dengan image IKIP Negeri Malang.
Berdasarkan uraian tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan topik Hubungan Identitas Visual Universitas Negeri Malang dengan Reputasi yang Terbentuk Dikalangan Mahasiswa.
READ MORE

Analisis Pengaruh Tingkat Investasi, Pendapatan Asli Daerah Dan Tenaga Kerja Terhadap Pdrb Jawa Tengah (EKN-151)

Pembangunan ekonomi adalah proses merubah struktur ekonomi yang belum berkembang dengan jalan capital investment dan human investment bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran penduduk atau income per capita naik (Hasibuan, 1987: 12). Suparmoko, pembangunan ekonomi adalah usaha- usaha untuk meningkatkan taraf hidup suatu bangsa yang seringkali diukur dengan tinggi rendahnya pendapatan riil perkapita (2002: 5). Jadi tujuan pembangunan ekonomi disamping untuk meningkatkan pendapatan nasional riil juga untuk meningkatkan produktivitas.


Pembangunan ekonomi dapat memberikan kepada manusia kemampuan yang lebih besar untuk menguasai alam sekitarnya dan mempertinggi tingkat kebebasannya dalam mengadakan suatu tindakan tertentu. Pembangunan ekonomi ini mempunyai tiga sifat penting, yaitu :
a. Suatu proses yang berarti merupakan perubahan yang terjadi terus- menerus.
b. Suatu usaha untuk menaikkan pendapatan per jiwa/income per capita.

c. Kenaikan income per capita itu harus terus-menerus dan pembangunan itu dilakukan sepanjang masa (Hasibuan, 1987: 12).

Pemberlakuan Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang pelimpahan sebagian wewenang pemerintah daerah untuk mengatur dan menyelenggarakan urusan rumah tangga sendiri dalam rangka pembangunan nasional negara Republik Indonesia dan pemberlakuan Undang-undang No.

33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, diharapkan bisa memotifasi peningkatan kreatifitas dan inisiatif untuk lebih menggali dan mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki oleh tiap-tiap daerah, dan dilaksanakan secara terpadu, serasi, dan terarah agar pembangunan disetiap daerah dapat benar-benar sesuai dengan prioritas dan potensi daerah.
Kegiatan pembangunan nasional tidak lepas dari peran seluruh Pemerintah Daerah yang telah berhasil memanfaatkan segala sumber daya yang tersedia di daerah masing-masing. Sebagai upaya memperbesar peran dan kemampuan daerah dalam pembangunan, pemerintah daerah dituntut untuk lebih mandiri dalam membiayai kegiatan operasional rumah tangga. Dalam melaksanakan kegiatan pembangunan, pemerintah daerah tingkat satu memanfaatkan segala sumber daya yang tersedia di daerah itu dan dituntut untuk bisa lebih mandiri. Terlebih dengan diberlakukannya otonomi daerah, maka pemerintah daerah tingkat satu harus bisa mengoptimalkan pemberdayaan semua potensi yang dimiliki dan perlu diingat bahwa pemerintah daerah tingkat satu tidak boleh terlalu mengharapkan bantuan dari pemerintah pusat seperti pada tahun-tahun sebelumnya.
Pertumbuhan ekonomi adalah sebagian dari perkembangan kesejahteraan masyarakat yang diukur dengan besarnya pertumbuhan domestik regional bruto perkapita (PDRB perkapita) (Zaris, 1987: 82). Tingginya tingkat pertumbuhan ekonomi yang ditunjukkan dengan tingginya nilai PDRB menunjukkan bahwa daerah tersebut mengalami kemajuan dalam perekonomian. Provinsi-provinsi yang berada di pulau Jawa (kecuali DKI Jakarta) ternyata mempunyai pertumbuhan ekonomi yang tergolong rendah. Ini dikarenakan sedikitnya sumber daya alam yang dimiliki oleh provinsi- provinsi yang berada di pulau Jawa. Sumber daya alam ini merupakan salah satu faktor pendorong pertumbuhan daerah, selain pola investasi dan perkembangan prasarana transportasi (Zaris, 1987: 86). Salah satu indikator keberhasilan pelaksanaan pembangunan yang dapat dijadikan tolok ukur secara makro adalah pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi, meskipun telah digunakan sebagai indikator pembangunan, pertumbuhan ekonomi masih bersifat umum dan belum mencerminkan kemampuan masyarakat secara individual. Pembangunan daerah diharapkan akan membawa dampak positif pula terhadap pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi daerah dapat dicerminkan dari perubahan PDRB dalam suatu wilayah. Jawa Tengah yang dikategorikan memiliki pertumbuhan ekonomi yang rendah ternyata memiliki sumber daya alam yang cukup banyak. Laju pertumbuhan ekonomi di Jawa Tengah selama kurun waktu lama tahun terakhir ini selalu mengalami kenaikan, walaupun kenaikan itu tudak terlalu signifikan.

Dibandingkan dengan propinsi lain di pulau Jawa, nilai PDRB Provinsi Jawa Tengah relatif lebih rendah. Dari Tabel 1.2 menujukkan bahwa nilai PDRB Jawa Tengah selalu berada di bawah Provinsi Jawa Timur, bahkan lebih rendah dari Jawa Barat meskipun telah dimekarkan menjadi Provinsi Banten dan Provinsi Jawa Barat. Ini terlihat dalam Tabel 1.2, pada 2 tahun terakhir PDRB Jawa Tengah yang selalu mengalami kenaikan tetapi masih kalah di banding dengan Jawa Barat dan Jawa Timur. Angka tersebut cukup signifikan yaitu hampir 2 kali lipat dari PDRB Jawa Tengah. Sedangkan untuk D.I. Jogjakarta dan Banten masih kalah dengan Jawa Tengah.

Perkembangan penerimaan daerah provinsi Jawa Tengah dapat dilihat pada Tabel 1.3 dimana komposisi dan proporsi Pendapatan Asli Daerah yang digali oleh pemerintah daerah sudah mengalami peningkatan baik jumlah maupun proporsi pendapatan dari dari subsidi masih tetap naik, tetapi proporsinya terhadap total penerimaan sudah mengalami penurunan. Pendapatan Asli Daerah Jawa Tengah selalu mengalami kenaikan setiap tahunnya. Tahun 2000 PAD Jawa Tengah hanya 474.210.349 (dalam ribu rupiah) dan mengalami kenaikan tiap tahunnya hingga pada tahun 2005 telah mencapai nilai 2.491.395.611 (dalam ribuan rupiah). Ini menunjukkan bahwa penggalian dana oleh pemerintah daerah propinsi melalui sumber daya asli daerah dapat termanfaatkan dengan maksimal. Meningkatnya PAD dan penurunan proporsi tingkat subsidi diharapkan dapat menjadi sinyal bagi kemampuan daerah dalam melaksanakan otonomi daerah.

Pembangunan daerah secara menyeluruh dan berkesinambungan akan lebih sulit dilakukan pemerintah daerah apabila tanpa adanya dukungan dari pihak swasta. Untuk mendukung hal tersebut, pemerintah daerah perlu membuat kebijakan yang mendukung penanaman modal yang saling menguntungkan baik bagi pemerintah daerah, pihak swasta maupun terhadap masyarakat daerah. Tumbuhnya iklim investasi yang sehat dan kompetitif diharapkan akan memacu perkembangan investasi yang saling menguntungkan dalam pembangunan daerah.

Nilai investasi di Jawa Tengah sangat fluktuatif. Kenaikan yang sangat signifikan terjadi pada tahun 2004. Dari 17 proyek penanaman modal dalam negeri yang ditanamkan oleh investor dalam negeri tersebut bernilai
5.608.617,36 (dalam juta rupiah). Sedangkan untuk penanaman modal asing nilainya sangat fantastis, yaitu mencapai 3.086.867,96 (dalam ribu US $) dengan total proyek mencapai 46 buah proyek. Walupun mengalami jumlah kenaikan dari segi jumlah total proyek yang mencapai 20 buah proyek untuk PMDN tetapi nilainya turun yang hanya mencapai 1.912.678,00 (dalam juta rupiah). Hal itu juga terjadi pada PMA, jumlah total proyek mengalami kenaikan yaitu sebanyak 47 buah proyek tetapi nilainya turun sangat drastis dibandingkan dengan tahun 2004. Nilai investasi tahun 2005 untuk PMA hanya bernilai 610.432,00 (dalam ribu US $).

Modal pembangunan yang penting selain keuangan daerah dan investasi adalah sumber daya manusia. Partisipasi aktif dari seluruh masyarakat akan mempercepat pembangunan daerah karena rasa kepemilikan yang lebih besar terhadap daerah. Hasil yang dicapai dalam pembangunan juga akan lebih cepat dirasakan untuk daerah sendiri sehingga nantinya dapat merangsang kesadaran masyarakat membangun wilayah lokal masing-masing. Untuk mendukung pelaksanaan pembangunan memerlukan sumber daya manusia yang berkualitas disamping terpenuhinya kuantitas permintaan tenaga kerja.


Pembangunan daerah diharapkan akan membuka lapangan pekerjaan baru yang sesuai dengan kemampuan daerah untuk menyerap tenaga kerja lokal untuk kepentingan daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dari Tabel 1.5 terlihat bahwa jumlah angkatan kerja yang bekerja apabila dipersentase selalu diatas 90 persen. Pada tahun 2004 jumlah angkatan kerja yang bekerja di Jawa Tengah mencapai 14.930.097 dari total angkatan kerja yaitu sebanyak 15.974.670 orang. Pada tahun 2005 jumlah angkatan kerja mengalami kenaikan yaitu mencapai 16.635.255 orang dengan jumlah orang yang bekerja mencapai 15.655.303 atau mencapai 94,10 %. Ini menunjukkan bahwa tingkat pengangguran yang ada sangatlah sedikit dan juga lapangan perkerjaan yang ada dapat menyerap tenaga kerja yang banyak.

Penggalian pendapatan daerah, peningkatan peran serta swasta dan peningkatan partisipasi tenaga kerja lokal sebagai modal pembangunan daerah diharapkan menjadi salah satu faktor pendorong pertumbuhan daerah. Pemerintah daerah harus melaksanakan pendekatan perencanaan pembangunan daerah dari bawah ke atas (bottom up) agar pembangunan yang dilaksanakan daerah merupakan keinginan bersama dan sesuai dengan potensi yang ada agar kesinambungan pembangunan dapat tercapai.

Berdasarkan uraian di atas, terlihat bahwa tingkat investasi, pendapatan asli daerah dan tenaga kerja mempunyai pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi di Jawa Tengah. Apabila nilai dari masing-masing variabel meningkat maka peningkatan juga terjadi pada pertumbuhan ekonomi dalam hal ini adalah PDRB. Apabila terjadi penurunan dari variabel-variabel
tersebut penurunan juga terjadi terhadap PDRB, dari fenomena tersebut di atas maka perlu adanya suatu penelitian yang diharapkan dapat memberikan rekomendasi demi kelangsungan pertumbuhan ekonomi di Jawa Tengah. Hal ini yang melatarbelakangi penelitian dengan judul �Analisis Pengaruh Tingkat Investasi, Pendapatan Asli Daerah dan Tenaga Kerja terhadap PDRB Jawa Tengah�.
READ MORE

Analisis kinerja berdasarkan metode camel pada pd. Bpr-bkk di kabupaten kudus (EKN-150)

Perbankan menempati posisi yang strategis dalam pembangunan dan perekonomian negara, karena sektor perbankan berfungsi sebagai penghimpun dana dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat untuk pembiayaan pembangunan. Berkaitan dengan fungsi diatas, Pemerintah melalui berbagai kebijaksanaan ekonomi telah mendorong partisipasi masyarakat seluas-luasnya dalam meningkatkan jasa perbankan termasuk bagi pengusaha kecil dan masyarakat pedesaan. Salah satu cara untuk mengantisipasi meningkatnya aktivitas ekonomi pengusaha kecil dan masyarakat pedesaan adalah dengan mengembangkan kegiatan usaha jasa perbankan melalui Bank Perkreditan Rakyat.


Bank Perkreditan Rakyat (BPR) mempunyai peran yang sangat penting bagi aktivitas perekonomian, diharapkan sebagai wahana yang mampu menghimpun dan menyalurkan dana bagi masyarakat secara efektif dan efisien kearah peningkatan taraf hidup rakyat. BPR merupakan salah satu lembaga keuangan yang secara umum fungsi utamanya adalah menghimpun dana langsung dari masyarakat dan menyalurkan kembali kepada masyarakat untuk berbagai tujuan atau financial intermediary (Susilo, 2000:6). Selain sebagai lembaga perantara keuangan, bank melakukan kegiatan perbankan berdasarkan kepercayaan (agent of trust), dapat memperlancar kegiatan produksi, distribusi dan konsumsi (agent of development) serta menberikan penawaran jasa-jasa perbankan yang lain kepada masyarakat (agent of services). BPR mempunyai pangsa pasar sendiri yang cukup establish dan memiliki loyalitas tinggi , meskipun mulai banyak bank umum yang beroperasi pada penyaluran kredit dilevel usaha kecil dan mikro. Hal ini dimungkinkan karena sifat pelayanan kredit BPR yang lebih sederhana dibandingkan dengan bank umum. Namun demikian, untuk menyikapi persaingan yang semakin ketat, BPR perlu meningkatkan daya saing dan pengelolaan manajemen agar mampu bersaing dengan bank umum dan lembaga keuangan lainnya yang beroperasi dalam penyaluran kredit usaha mikro dan kecil.

Sebagai badan perantara keuangan yang menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali kepada masyarakat dalam bentuk pinjaman, Bank Perkreditan Rakyat harus menjaga kepercayaan yang diberikan masyarakat dalam mengelola dana dari masyarakat dengan menjaga tingkat kesehatan kinerjanya. Karena kesehatan kinerja sangat penting bagi suatu lembaga usaha. Dengan mengetahui tingkat kesehatan usaha, masyarakat dapat dengan mudah menilai kinerja tersebut.Untuk meningkatkan kinerja, Bank Perkreditan Rakyat harus mempunyai modal yang cukup dan pengelolaan manajemen secara profesional. Dengan adanya modal yang cukup dan pengelolaan manajemen yang bagus, Bank Perkreditan Rakyat dapat menyalurkan kredit secara optimal sehingga diharapkan dapat meningkatkan omzet serta volume laba. Teori Bunga Dinamis menyatakan bahwa modal yang dipakai untuk produksi akan menghasilkan laba, maka sebagian laba akan diberikan kepada pemilik modal sebagai bunga modal (Schumpeter,www.data%20skripsi/teori%20mo dal.htm). Diharapkan dengan adanya pemberian kredit kepada nasabah, BPR memperoleh laba dari suku bunga pinjaman nasabah. Penilaian terhadap tingkat kesehatan suatu badan usaha memang perlu dilakukan untuk mengetahui kinerja dan keberlanjutan usahanya. Penilaian dapat dilakukan melalui beberapa indikator. Laporan keuangan merupakan media untuk melihat kondisi kesehatan kinerja dan kemungkinan kegagalan usaha, karena rasio keuangan terbukti berperan penting dalam evaluasi kinerja keuangan serta dapat digunakan untuk memprediksi keberlanjutan usaha (Wilopo, 2001:4). Dengan melakukan analisis laporan keuangan maka pimpinan dapat mengetahui keadaan dan perkembangan finansial serta hasil- hasil yang telah dicapai diwaktu lampau dan diwaktu yang sedang berjalan. Indikator lain yang dapat digunakan adalah penilaian terhadap kualitas manajemen umum dan manajemen risiko. Penilaian manajemen merupakan inti dari pengukuran masyarakat, apakah suatu organisasi telah dijalankan secara sehat atau sebaliknya. Hal ini seperti yang dilakukan oleh BI dalam SK No.30/3/UPPB Tahun 1997 menggunakan konsep CAMEL (Capital, Asset, Management, Earning dan Liquidity) yang terdiri dari penilaian laporan keuangan dan manajemen.Dalam kamus perbankan (Institut Bankir Indonesia 1999), CAMEL adalah aspek yang paling banyak berpengaruh terhadap kondisi keuangan bank yang juga berpengaruh terhadap kesehatan kinerja bank. Peringkat CAMEL dibawah 81 memperlihatkan kondisi keuangan yang lemah yang ditunjukkan melalui neraca bank, seperti rasio kredit tak lancar terhadap total aktiva yang meningkat. Apabila hal tersebut tidak diatasi akan mengganggu kelangsungan usaha bank.

Dalam perkembangannya Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat Badan Kredit Kecamatan yang selanjutnya disingkat PD.BPR-BKK merupakan BPR yang hampir ada disemua Provinsi Jawa Tengah. Sebagai BPR yang 50 persen sahamnya dimiliki pemerintah provinsi, 42,5 persen dimiliki oleh pemerintah kabupaten, dan
7,5 persen dimiliki oleh Bank Jateng. Seharusnya PD. BPR-BKK dapat memberikan kontribusi dalam meningkatkan perekonomian daerah, namun sempitnya wilayah operasi serta lemahnya manajemen dan kemampuan keuangan seringkali menjadi pemicu rendahnya pendapatan yang mempengaruhi kinerja bagi lembaga tersebut.

Kabupaten Kudus terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Dimana tahun
2004 tingkat net income yang diperoleh sebesar 99.874,77 akan tetapi pada tahun
2005 net income yang diperoleh mengalami penurunan menjadi 85.265,44. Kondisi tersebut terus berlanjut hingga tahun 2006 sebesar 50.252,67 sedangkan pada tahun
2007 PD.BPR BKK di Kabupaten Kudus mengalami kerugian. yang sangat besar dengan tingkat net income rata-rata sebesar (387.300,89). Meskipun itensitas pemberian kredit serta tabungan dari nasabah telah ditingkatkan akan tetapi kondisi tersebut belum bisa memperbaiki kinerja PD.BPR-BKK di Kabupaten Kudus yang terus mengalami penurunan dan kerugian dari segi perolehan laba. Kondisi tersebut terjadi dikarenakan masih tingginya tingkat kredit bermasalah yang disebabkan kurang kehati-hatian pihak manajemen PD.BPR-BKK dalam menganalisis pemberian kredit kepada nasabah.

Kenyataan tersebut jelas terjadi kesenjangan dengan Teori Bunga Dinamis yang menyatakan bahwa modal yang digunakan untuk produksi akan menghasilkan laba maka sebagian laba akan diberikan kepada pemilik modal sebagai bunga modal. Diharapkan dengan adanya pemberian kredit kepada nasabah akan meningkatkan laba PD.BPR-BKK, akan tetapi kenyataan dilapangan menunjukkan bahwa meskipun itensitas pemberian kredit serta tabungan dari nasabah meningkat, PD.BPR-BKK masih menghadapi beberapa kendala yaitu adanya kredit macet yang disebabkan karena pengelolaan manajemen yang kurang profesional sehingga menyebabkan laba dari PD.BPR BKK semakin berkurang yang akhirnya menurunkan kinerja PD.BPR- BKK di Kabupaten kudus.

Adanya kesenjangan dan permasalahan yang muncul dilapangan, maka peneliti termotivasi untuk mengadakan penelitian tentang kinerja PD. BPR-BKK di Kabupaten Kudus dengan menggunakan analisis CAMEL. Dengan menggunakan analisis CAMEL diharapkan dapat diketahui kondisi kinerja BPR-BKK di Kabupaten Kudus secara menyeluruh.
READ MORE

Struktur, Perilaku, Dan Kinerja Industri Kaos Di Jalan Surapati-P.H.H Mustopa Kota Bandung (EKN-149)

Perkembangan industri kecil termasuk industri rumah tangga yang bersifat informal merupakan bagian dari perkembangan industri dan ekonomi nasional secara keseluruhan. Industri kecil mempunyai peranan yang strategis dalam hal pemerataan penyebaran lokasi usaha yang mendukung pembangunan daerah, pemerataan kesempatan kerja, menunjang ekspor non migas serta melestarikan seni budaya bangsa (Safnita, 2003 : 203).


Dilihat dari banyaknya usaha maupun penyerapan tenaga kerja, golongan industri kecil dan rumah tangga ini mempunyai kontribusi terbesar dalam hal penyerapan tenaga kerja yang hampir sekitar 58% tenaga kerja yang ada di sektor industri (BPS, 2005). Pada waktu krisis ekonomi menunjukkan bahwa unit usaha koperasi dan industri skala kecil dan menengah ternyata lebih mampu menahan dampak krisis ekonomi yang sedang berlangsung. Kondisi ini semakin menunjukkan bahwa perhatian pemerintah daerah khususnya terhadap unit kegiatan ini perlu ditingkatkan baik secara kualitas maupun kuantitas dalam rangka mendorong peningkatan skala usaha dari industri kecil tersebut.

Salah satu industri kecil yang sangat potensial berkembang di kota Bandung adalah industri kaos. Industri kaos merupakan salah satu industri yang sangat potensial dan dapat memberikan pendapatan yang cukup besar bagi pemiliknya dan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Disamping itu, industri ini juga memberi nilai tambah dengan mengenalkan kota Bandung sebagai kota mode kepada masyarakat luar Bandung.

Salah satu sentra industri kaos di kota Bandung ada di jalan Surapati. Produk industri kaos di jalan Surapati-P.H.H.Mustopa ini menjadi trend mode, khususnya untuk perlengkapan olah raga (training, jaket dan kaos) tidak saja di kota Bandung bahkan diluar Jawa, yaitu Sumatra dan Kalimantan. Pemesanan selain banyak dilakukan oleh perusahaan ada juga dari beberapa Universitas.

Dalam tiga tahun terakhir jumlah unit usaha kaos di jalan Surapati-P.H.H Mustopa cenderung meningkat. Pada tahun 2005, jumlah unit usaha kaos hanya tercatat sebanyak 237 buah dan sampai bulan Juni 2007 telah tercatat sebanyak
269 buah. Dengan melihat jumlah unit usaha tersebut di mungkinkan akan terjadi persaingan yang sempurna. Adapun jumlah tenaga kerja yang terserap mencapai
711 orang pada tahun 2005 dan sampai tahun 2007 meningkat dengan tajam menjadi 807 orang atau naik sebesar 7,17%. Sedangkan produksi yang dihasilkan sampai Juni 2007 sebanyak 3.228 lusin yang mampu menghasilkan omset penjualan sebanyak Rp. 600.408.000.

Bertambahnya jumlah perusahaan dalam industri kaos Surapati tidak terlepas dari dinamisnya permintaan hasil produksi industri tersebut. Selain itu pula dapat mencerminkan tidak adanya hambatan masuk dalam industri ini. Sesuai dengan teori ekonomi industri, perkembangan pasar (permintaan) akan mendorong perusahaan-perusahaan baru untuk masuk ke pasar guna memenuhi perkembangan pasar yang terjadi. Namun yang patut diperhatikan dampak dari meningkatnya jumlah unit usaha adalah munculnya tingkat persaingan yang tinggi di antara mereka.

Persaingan yang dirasakan oleh industri kaos di jalan Surapati- P.H.H.Mustopa masih sangat ketat, indikasi ini terlihat dari tingkat persaingan harga diantara para produsen. Melihat persaingan dalam usaha kaos di daerah tersebut, maka menjadi penting untuk melihat kondisi-kondisi yang mempengaruhi kinerja unit usaha tersebut, misalnya dilihat dari nilai tambah atau harga pasar. Kondisi harga pasar dalam usaha kaos mencerminkan nilai yang diterima dalam satu tahun. Oleh karena itu harga pasar mencerminkan dari nilai tambah di industri kaos.
Kondisi harga pasar dari suatu industri dapat dijadikan salah satu ukuran yang ideal dalam menganalisis kinerja suatu industri, oleh karena peningkatan harga pasar menunjukkan kemajuan dan kemampuan suatu industri tak terkecuali industri kaos dalam meningkatkan outputnya.

Dengan melihat uraian permasalahan di atas maka penulis tertarik untuk meneliti masalah tersebut dengan judul: Struktur, Perilaku, dan Kinerja Industri Kaos di Jalan Surapati-P.H.H Mustopa Kota Bandung.
READ MORE

Pengaruh Asset Growth, Debt To Equity Ratio, Return On Equity, Total Asset Turnover Dan Earning Per Share Terhadap Beta Saham Pada Perusahaan (EKN-148

Pengaruh Asset Growth, Debt To Equity Ratio, Return On Equity, Total Asset Turnover Dan Earning Per Share Terhadap Beta Saham Pada Perusahaan Yang Masuk Dalam Kelompok Jakarta Islamic Index (Jii) Periode 2005-2007 (EKN-148)


Setiap keputusan investasi selalu menyangkut dua hal, yaitu risiko dan return. Risiko mempunyai hubungan positif dan linier dengan return yang diharapkan dari suatu investasi sehingga semakin besar return yang diharapkan semakin besar pula risiko yang harus ditanggung oleh investor. Dalam melakukan keputusan investasi, khususnya pada sekuritas saham, return yang diperoleh berasal dari dua sumber, yaitu dividen dan capital gain, sedangkan risiko investasi saham tercermin dari variabilitas pendapatan (return saham) yang diperoleh.


Analisis investasi membagi risiko total menjadi dua bagian yaitu risiko tidak sistematis dan risiko sistematis. Risiko tidak sistematis adalah risiko yang disebabkan oleh faktor-faktor unik pada suatu sekuritas dan dapat dihilangkan dengan melakukan diversifikasi. Sedangkan risiko sistematis adalah risiko yang disebabkan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi semua sekuritas sehingga tidak dapat dihilangkan dengan melakukan diversifikasi. Ukuran besarnya risiko sistematis saham adalah indeks beta yang menunjukkan sensitivitas tingkat pengembalian surat berharga saham terhadap tingkat pengembalian indeks pasar yang telah disesuaikan dengan tingkat pengembalian bebas risiko. Beta sebagai pengukur risiko yang berasal dari hubungan antara tingkat keuntungan suatu saham dengan pasar. Risiko ini berasal dari beberapa faktor fundamental perusahaan dan faktor karakteristik pasar tentang saham perusahaan antara lain cyclicality, operating leverage dan financial leverage.
Barr Rosenberg dan Vinay Marathe dalam Frank J. Fabozzi mengembangkan model yang lebih ekstensif untuk memperkirakan risiko fundamental dari sekuritas tidak hanya menggunakan data harga namun juga data keuangan dan data berhubungan dengan pasar lainnya. Produk dari mereka disebut beta fundamental. Prosedur memperkirakan beta fundamental dimulai dengan menjabarkan perusahaan dalam hal rasio-rasio yang merefleksikan kondisi dasar perusahaan. Baik data keuangan maupun data yang berhubungan dengan pasar dapat digunakan oleh analis untuk memperkirakan risiko sistematis sekuritas. Rasio-rasio baik data keuangan maupun data yang berhubungan dengan pasar dalam penelitian ini meliputi asset growth, debt to equity ratio, return on equity, total asset turnover dan earning per share.

Asset growth mempunyai pengaruh terhadap beta saham. Beaver, Kettler dan Scholes menyatakan variabel asset growth berhubungan positif dengan risiko sistematis dikarenakan perusahaan yang tumbuh membutuhkan lebih banyak modal. Kebutuhan modal yang lebih besar (tingkat pertumbuhan tinggi) memberikan tekanan terhadap rasio pembayaran dividen. Pembayaran dividen yang kecil akan meningkatkan risiko sistematis

Debt to equity ratio menunjukkan perbandingan antara hutang dengan modal sendiri. DER yang semakin besar akan mengakibatkan risiko financial perusahaan yang semakin tinggi. Dengan penggunaan hutang yang semakin besar akan mengakibatkan semakin tingginya risiko untuk tidak mampu membayar hutang.

Return on equity yaitu menggambarkan sejauh mana kemampuan perusahaan menghasilkan laba yang tersedia bagi pemegang saham. Investor biasanya akan mempertimbangkan perusahaan yang mampu memberikan kontribusi ROE yang lebih besar. Semakin tinggi ROE maka semakin rendah nilai beta, sehingga ROE mempunyai pengaruh negatif terhadap beta saham.

Total asset turnover menunjukkan efektivitas penggunaan seluruh harta perusahaan dalam rangka menghasilkan penjualan atau menggambarkan berapa rupiah penjualan bersih yang dapat dihasilkan oleh setiap rupiah yang diinvestasikan dalam bentuk harta perusahaan. Semakin tinggi total asset turnover maka semakin rendah nilai beta.

Earning per share adalah perbandingan antara keuntungan bersih setelah pajak yang diperoleh emiten dengan jumlah saham yang beredar. Semakin tinggi earning per share maka akan menghasilkan tingkat pengembalian yang tinggi. Laba tersedia bagi pemegang saham biasa juga akan meningkat. Dalam kondisi demikian perusahaan tidak akan kesulitan dalam meningkatkan modal, baik dengan cara menarik investor dari luar atau dengan meyakinkan pemegang saham untuk meningkatkan jumlah kepemilikannya. Hal ini mengindikasikan semakin rendah beta saham.

Sementara itu, penelitian yang dilakukan di pasar modal Indonesia menunjukkan ketidakkonsistenan antara penelitian yang satu dan yang lainnya. Selain itu, penelitian-penelitian terdahulu masih banyak dilakukan pada perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam bursa konvensional, sehingga peneliti tertarik untuk meneliti pada perusahaan yang tergabung di bursa syariah seperti Jakarta Islamic Index (JII) untuk menjelaskan apakah penelitian yang dilakukan pada bursa syariah akan menghasilkan kesimpulan yang sama atau tidak dengan penelitian terdahulu yang dilakukan di bursa konvensional, sehingga bermanfaat bagi investor yang ingin menanamkan dananya secara syariah.

Dengan demikian perlu diuji kembali untuk pasar modal syariah di Indonesia mengenai pengaruh asset growth, debt to equity ratio, return on equity, total asset turnover dan earning per share terhadap beta saham. Maka dalam penelitian ini akan dikaji bagaimana pengaruh variabel-variabel tersebut terhadap beta, khususnya pada perusahaan yang terdaftar di Jakarta Islamic Index (JII) tahun 2005-2007. Oleh karena itu, judul yang akan diangkat dalam penelitian ini adalah: �Pengaruh Asset Growth, Debt to Equity Ratio, Return on Equity, Total Asset Turnover dan Earning Per Share terhadap Beta Saham pada Saham Perusahaan yang Termasuk dalam Kelompok Jakarta Islamic Index (JII) periode 2005-2007�
READ MORE

Analisis Perhitungan Penyusutan Aktiva Tetap Menurut SAK Serta Undang-Undang Perpajakan Pengaruh Terhadap Penghasilan Kena Pajak (EKN-147)

147. Analisis Perhitungan Penyusutan Aktiva Tetap Menurut Standar Akuntansi Keuangan Serta Undang-Undang Perpajakan Pengaruh Terhadap Penghasilan Kena Pajak Pada Perum Pegadaian Pusat

Setiap perusahaan pasti memiliki aktiva tetap yang berwujud maupun yang tidak berwujud karena aktiva merupakan sarana bagi perusahaan didalam menjalankan kegiatan operasional, seperti bangunan atau gedung sebagai kantor, mesin dan peralatan untuk berproduksi, kendaraan sebagai alat untuk transportasi, dan lain-lain sebagai alat yang dapat mendukung semua kegiatan perusahaan.

Aktiva tetap biasanya memiliki masa pemakaian yang lama, sehingga bisa diharapkan dapat memberikan manfaat bagi perusahaan selama bertahun-tahun. Namun demikian, manfaat yang diberikan aktiva tetap umumnya semakin lama semakin menurun pemakaiannya secara terus menerus, dan menyebabkan terjadi penyusutan.


Penyusutan adalah proses alokasi sebagian harga perolehan aktiva menjadi biaya (cost allocation). Disini berlaku sebagai pengurang dalam menentukan atau menghitung laba. Dengan demikian penyusutan akan berpengaruh terhadap besar kecilnya laba yang diperoleh dari perhitungan komersil dan fiscal. Untuk itu perlu adanya pemahaman terhadap perbedaaan tersebut.
Penyusutan dicatat dan dilaporkan dengan menggunakan metode-metode penyusutan antara lain: Metode garis lurus (Straight line method), Metode saldo menurun ganda (Double declining Method), Metode jumlah angka tahun (Sum of years digit method), Metode jam jasa (Service hours method), Metode hasil produksi (Productive output method), dan Metode menurut perpajakan.

Bagi perusahaan, pajak merupakan salah satu unsur penting dalam operasional perusahaan. Terlebih lagi perusahaan yang berskala nasional ataupun intenasional, hampir semua transaksi yang dilakukan oleh perusahaan tidak terlepas dari masalah perpajakan.

Perubahan undang-undang pajak yang dilakukan oleh pemerintah dimaksudkan untuk menyempurnakan system perpajakan yang telah ada, adapun undang-undang perpajakan yang baru tersebut mulai berlaku tahun 2000.

Wajib pajak yang diperlakukan sebagai subyek dalam system pemungutan pajak khususnya pada bidang pajak penghasilan (PPh) disebabkan wajib pajak diberikan kepercayaan penuh oleh negara (direktorat jendral pajak) untuk menghitung, memperhitungkan, menbayar dan melaporkan sendiri jumlah pajak yang terhutang sesuai dengan Self Assetment. Self Assetment adalah keputusan wajib pajak dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan perpajakan Indonesia yang berlaku tersebut.

Atas dasar latar belakang pemikiran tersebut diatas, maka penulis merasa perlu agar penyusutan aktiva tetap khususnya aktiva tetap berwujud mendapat perhatian khusus, sehingga dijadikan sebagai obyek dalam penelitian yang berjudul �Analisis Perhitungan Penyusutan Aktiva Tetap Menurut Standar Akuntansi Keuangan serta Undang � Undang Perpajakan pengaruh terhadap Penghasilan Kena Pajak pada Perum Pegadaian Pusat�.
READ MORE